Thursday 7 November 2019

Bercengkerama dengan Keluarga Jenderal Ahmad Yani

1

Suatu malam di penghujung September sebuah pesan singkat menghampiri gawai saya yang sudah mengajukan pensiun dini karena terlalu lelah mengabdikan diri, " Na, besok kamu jadi datang ke Sasmita Loka?" . Pesan tersebut tak serta merta saya balas, karena saya masih terpukau betapa tidak bahwa secara mendadak saya ditanya langsung oleh salah satu mantan penghuni Sasmita Loka tersebut.

Sesuai dengan petikan judul dalam tulisan ini pastilah kaitannya dengan rumah dari Keluarga Jenderal Ahmad Yani. Rumah dinas dari Jenderal Ahmad Yani tersebut kini telah beralih fungsi menjadi Museum Sasmita Loka, museum tersebut diresmikan tepat satu tahun setelah terjadinya tragedi yang memupuskan sejenak banyak harap dan cita-cita yang bermekaran di hunian nan asri itu.

Setelah memastikan bahwa saya akan berkunjung ke museum, siang di akhir pekan terakhir Bulan September tersebut tibalah saya di Museum Sasmitaloka Jenderal Ahmad Yani . Saat berkunjung ke museum tersebut, saya yakin bahwa siapa pun yang pernah berkunjung ke sana pasti tidak akan merasakan sensasi berkunjung ke sebuah museum pada umumnya. Museum ini benar-benar seperti rumah hunian yang membuat kita nyaman berada di dalamnya.



Museum Sasmita Loka Jenderal Ahmad Yani

Di dalam museum, anak-anak dari Jenderal Ahmad Yani sedang berkumpul di meja makan di ruangan tengah. Ibu Rully, Ibu Juwik, Ibu Yuni, dan juga Pak Eddy.
"Hei Na, aduh kamu terlambat, tadi kami abis wawancara lho.", sapa Pak Eddy.

"Iya, kamu kenapa gak dateng dari tadi?", sambung Ibu Rully. Saya hanya menjawab sekenanya karena saya memang sengaja datang siang menjelang sore.

Mereka bercerita banyak tentang kegiatan mereka sedari pagi di museum tersebut hingga dengan ramah mereka menyambut para pengunjung museum yang seakan tak habis-habis. Rumah yang terletak di Jl. Lembang tersebut adalah merupakan rumah dinas Jenderal Ahmad Yani sebagai Perwira TNI-AD, sedangkan rumah di Jl. Taman Suropati yang kini menjadi Wisma A. Yani adalah merupakan rumah dinas Jenderal Ahmad Yani yang pada saat itu menjabat sebagai Menpangad.

Tak sulit bagi saya untuk langsung terbuai dalam kisah-kisah yang dipaparkan langsung oleh anak-anak Sang Jenderal, mulai dari kebiasaan Sang Jenderal hingga kelanjutan keberlangsungan hidup mereka sepeninggal ayahanda tercinta.

Pak Eddy, beliau adalah putra bungsu yang pada pagi itu membangunkan bapaknya untuk yang terakhir kali. Bayangan akan segala kepiluan yang terus menyeruak dalam benaknya seakan enggan menyusut dalam waktu singkat. Berganti dekade pun, beliau masih terasa enggan apabila harus mengenang apa yang membuatnya berpredikat yatim di usia belia.

Lirih terdengar, "Tolong jangan paksa saya bercerita,..." meluncur bisik dari bibirnya ketika saya tepat berada di sebelahnya saat tamu-tamu ramai berdatangan dan menanyakan kronologis kejadian tentang tragedi pagi yang penuh luka tersebut.

Setelah kejadian di pagi awal Oktober 1965, mereka semua berpindah-pindah. Bahkan urusan sekolah pun mereka sempat terhenti dan melanjutkan dengan sekolah di rumah selama kurang lebih satu tahun. Trauma dan ketakutan membungkus mereka dalam ketidaktahuan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi kala itu. "Kita semua sekeluarga pindah-pindah, ke Kemang, di sana gak tau di mana, pokoknya di pedalaman, gelap, ndak ada listrik.", kenang Ibu Juwik.

"Ibu saya sempat jualan juga, jualan sembako, jualan gaplek, yang penting kita semua bisa makan, bisa hidup.", terang Ibu Rully "Pernah juga ibu kena tipu orang Korea, ibu bangkrut, sedih lagi. Lalu ibu cari usaha lain lagi, jahit-jahit baju.", lanjutnya.

"Wah, bapak dan Ibu doyan gaplek juga?",
"Doyan, apa saja kami makan. Apa pun yang ibu masak, yang ibu bikin, kita makan. Kata ibu, kita harus sehat, makan kenyang, gak boleh jajan, makan harus di rumah." lanjut Ibu Rully.

"Lalu setelah itu, akhirnya di mana Ibu dan keluarga menetap dan tinggal?",
"Ibu kan giat mengumpulkan uang, menabung dari hasil-hasil usaha, lalu I
bu kami membeli rumah itu yang ada di depan rumah ini (sambil menunjuk ke rumah yang berada tepat berhadapan dengan museum), jadi kita masih sering-sering main di halaman rumah ini, sampai sekarang ya rumah ini memang seperti rumah kami, padahal aslinya kami gak punya rumah wong ini rumah dinas, hahahaah." terang Ibu Rully sambil berseloroh.


Rumah yang pernah menjadi tempat tinggal Keluarga Jenderal Ahmad Yani
"Apa kebiasaan dari keluarga yang masih dilakukan sampai sekarang?",
"Kumpul-kumpul ini seperti sekarang, sebisa mungkin kami bersama, bareng-bareng, akur terus. Sambil makan makanan kesukaan bapak, bapak dulu suka berkebun, nanti hasil kebunnya direbus dimakan bareng-bareng sekeluarga, dibagi-bagi ke lainnya juga, jadi kalau kami kumpul di sini pasti ada makanan ini (sambil menunjuk ubi rebus, kacang rebus, serta singkong rebus yang ada di meja).", sambung Ibu Juwik.

"Waktu sekolah, apakah bapak atau ibu ada yang pernah sekelas atau satu sekolah dengan anak Pahlawan Revolusi lainnya?",
"Hhhmm, kalau saya enggak (ada), sih yaa.", tukas Bu Rully.
"Saya juga gak ada", lanjut Ibu Yuni.
"Ohh saya ada, saya dulu sekolah di Santa Ursula, saya satu tingkat dengan Ibu Yanti, anak Jenderal Nasution. Tapi kami ndak sekelas." terang Ibu Juwik.
"Setelah kejadian, kita dulu waktu sekolah punya pengawal satu-satu, karena takut kejadian yang tidak-tidak terjadi kepada kami. Satu penjaga saya menunggu di depan kelas saat saya sekolah, yaaa saya jadi gak bisa main kalau pulang sekolah.", cerita Pak Eddy.
"Iya pulang sekolah ya langsung pulang ke rumah, mainnya sama mbak-mbak sama adek-adek.", lanjut Ibu Yuni.

"Oh ya, kamu kan suka membaca, berarti banyak ya, buku kamu tentang almarhum bapak?", tanya Pak Eddy.
"Lumayan, Pak. Tapi agak sulit sekarang ini menemukan buku-buku tentang Jenderal Ahmad Yani."

"Oh iya, kita ada juga buku di kantor (museum), kamu sudah punya belum?", tanya Ibu Rully.
"Sepertinya belum, Bu.. hehe.."
"Sepertinya memang habis, nanti kita cetak lagi, deh.", lanjutnya.

Lalu salah satu dari mereka meminta kepada penjaga museum untuk mengecek ketersediaan buku,
Alhamdulillah buku yang dimaksud masih ada.

"Kalau kamu mau, nih buat kamu.", sambung Pak Eddy.

"Lho saya dapat gratis, nih. hehehe.."
"Iya, kita kan juga udah dapat buku kamu. hahaha."

Percakapan kami pun banyak diselingi senda gurau serta canda tawa yang meramaikan suasana di museum kala itu. Berada di tengah mereka seperti tidak ada batas antara kami. Seloroh-seloroh mereka pun sungguh kekinian. Jadi, tak usah khawatir apabila bertemu mereka saat berkunjung ke Museum Sasmita Loka Jenderal Ahmad Yani, karena mereka dengan senang hati akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sesekali diselingi dengan guyonan.

"Lain kali kamu ke Magelang, ke Purworejo. Ibu sama Bapak, kan asli sana. kamu harus tau ada apa saja di sana, jangan cuma tau mall aja di Jakarta.", canda Ibu Rully.

"Duuhh ayo dong kamu dari tadi ngomong terus, itu lho makanan sama minumannya dinikmati. Itu tadi juga dibawakan oleh tamu yang wawancara untuk youtube.", lanjut Ibu Rully sambil memasang wajah jenaka.

"Iya, besok gantian kamu yang bawa makanan ke sini yaa, hahahah", canda mereka bersamaan.


Lalu percakapan-percakapan ringan membawa kami menuju senja. Kami pun berpamitan serta tak lupa untuk mengabadikan momen-momen bersama mereka.

ki-ka: Ibu Rully, Ibu Yuni, Pak Eddy, Ibu Juwik



Dan kesempatan-kesempatan bertemu dengan para saksi-saksi sejarah akan terus saya kenang sebagai pengalaman menakjubkan dalam hidup saya. Banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari mereka, tentang perjuangan - tentang kemandirian - tentang kebersamaan - tentang makna kasih sayang - serta nilai-nilai sarat makna yang menjadikan hari-hari mereka seperti terus bergandengan tangan walau berada di tengah badai.


Semoga tulisan kali ini bermanfaat dan memberikan pengalaman baru pula bagi yang membacanya.
Terima kasih.
Salam hangat :)